Rambut gimbal lazimnya disebabkan karena malas menyisir rambut usai keramas dengan shampo. Dalam kasus lain, rambut menggimbal karena justru jarang keramas alias kurang perawatan.
Belakangan, rambut gimbal identik dengan rasta, sebuah gaya hidup yang dipopulerkan Bob Marley. Berbeda di Dieng, rambut gimbal menjadi fenomena biasa lantaran terjadi pada bocah-bocah yang ditakdirkan berambut gimbal. Mereka adalah anak-anak istimewa yang yang diyakini membawa berkah.
Di usia tertentu, rambut gimbal ini akan dipotong dan tumbuh rambut normal. Anehnya, fenomena di tengah masyarakat Dataran Tinggi Dieng (DTD) yang sampai sekarang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah.
Gampang menemukan anak-anak berambut gimbal saat menelusuri desa-desa yang ada di Dieng. Di setiap desa yang ada di kawasan ini, selalu ada anak-anak berambut gimbal.
Anak-anak ini biasanya berusia beberapa bulan hingga 8 tahun. Secara tiba-tiba saja mereka berambut gimbal.
Tidak perlu ada garis keturunan khusus dari anak yang berambut gimbal. Siapa saja yang memiliki garis keturunan Dieng, memiliki kemungkinan menjadi anak berambut gimbal.
Tahu sebutan bagi anak berambut gimbal ini? Oleh masayarakat sekitar mereka disebut ‘Anak gembel’.
Jika pada umumnya gimbalnya rambut seseorang karena malas sisiran yang lantas membuat rambut kaku, menggumpal, dan jadi gimbal, fenomena yang terjadi pada anak-anak di Dieng ini tidak seperti itu. Mereka anak yang terawat.

Titipan Kiai Kolo Dete
Mitos yang berkembang, konon anak berambut gimbal di Dieng merupakan titipan dari Kiai Kolo Dete. Diketahui, Kiai Kolo Dete merupakan salah seorang punggawa pada masa Mataram Islam (sekitar abad 14).
Bersama dengan Kiai Walid dan Kiai Karim, Kiai Kolo Dete ditugaskan oleh Kerajaan Mataram untuk mempersiapkan pemerintahan di daerah Wonosobo dan sekitarnya. Kiai Walid dan Kiai Karim bertugas di daerah Wonosobo, sementara Kiai Kolo Dete bertugas di Dataran Tinggi Dieng.
Tiba di Dataran Tinggi Dieng, Kiai Kolo Dete dan istrinya (Nini Roro Rence) mendapat wahyu dari Ratu Pantai Selatan. Pasangan ini ditugaskan membawa masyarakat Dieng menuju kesejahteraan. Konon kala itu tolak ukur sejahteranya masyarakat Dieng akan ditandai dengan keberadaan anak-anak berambut gimbal. Sejak itulah, muncul anak-anak berambut gimbal di kawasan Dataran Tinggi Dieng.
Kisah uniknya lagi, munculnya rambut gimbal pada seorang anak akan ditandai dengan panas tubuh yang tinggi selama beberapa hari.
Suhu tubuh anak tersebut akan normal dengan sendirinya pada pagi hari, bersamaan dengan munculnya rambut gimbal di kepala sang anak. Sekali lagi, bukan karena anak malas sisiran setelah keramas.
Biasanya, rambut gimbal akan tumbuh ketika usia seorang anak belum mencapai 3 tahun. Rambut gimbal ini akan tumbuh dan semakin lebat seiring waktu.
Ruwat Rambut Gimbal di DCF 2024
Memotong rambut rambut gibal di Dieng tak bisa seenaknya, asal pergi ke tukang potong rambut atau barbershop. Ada ritual khusus potong rambut bagi mereka, dalam bentuk ruwatan, atau menghilangkan senghkala atau sial.
Ada yang unik lagi, dan ini sering menjadi daya Tarik isata di ataran Tinggi Dieng, yaitu setiap permintaan mereka sebelum prosesi ruwatan selalu dituruti.
Korelasinya, jika permintaan tak dipenuhi, serta potoingnya tanpa ruwatan, rambut anak ini akan tumbuh lagi. Namun jika sesuai aturan yang ada maka rambut terpotong, tumbuhnya pun tidak gimbal lagi.
Kamu ingin menyaksikan prosesi potong rambut gimbal di Dataran Tinggi Dieng? Prosesi ini menyatu dengan kegiatan Dieng Culture Festival (DCF), untuk tahun 2024 ini rencanyanya digelar pada tanggal 23-25 Agustus 2024.
Untuk pembelian tiket, telah dibuka mulai hari Minggu, 30 Juni 2024.
Dalam keterangan di akun resmi Instagram @fetival_dieng dan X @FestivalDiengID, pembelian dibuka pada pukul 19.00 WIB melalui website festivaldieng.id.
Panitia menyiapkan paket partisipan yang di banderol dengan harga 450.000 rupiah. Setiap paket partisipan akan mendapat fasilitas tiket masuk area wisata Candi Arjuna dan Kawah Sikidang, paket merchandise resmi, dan ID akses masuk ke semua acara DCF 2024 selama 3 hari.
Penulis: Purba Handayaningrat