Bullying Terselubung di Balik Lomba 17-an

Date:

Lomba apa yang paling heboh di tempatmu saat 17-an? Warga di seluruh negeri ini, menyambut HUT ke-79 RI dengan menyelenggarakan beragam lomba. Jenisnya masih seperti tahun lalu dan tahun sebelumnya. Semua permainan lomba itu melibatkan balita, anak-anak, hingga lansia.

Partisipasi warga memang mengharukan, bahkan sejak sebulan sebelum jatuh hari peringatan kemerdekaan. Warga bersama-sama menghias desa, membuat penjor, memasang umbul-umbul, juga bendera merah putih. Mereka juga berlatih setiap hari untuk mengikuti lomba-lomba yang diadakan dengan biaya yang dikumpulkan sendiri.

Para orangtua menyiapkan anak-anaknya untuk mengiktui lomba-lomba yang memang hadiahnya cukup lumayan. Mereka bersemangat mendaftarkan anak-anak (balitanya) ke panitia 17-an. Lomba-lomba ini biasanya diadakan di lingkungan RT, di sekolah atau komunitas, di mana anak-anak berkumpul untuk bersenang-senang.

Kegiatan lomba ini tentu bertujuan baik, selain untuk memeriahkan pesta ulang tahun Indonesia dan melatih membangun semangat kebersamaan dan nasionalisme, juga bisa mengembangkan keterampilan sosial anak, melatih sportivitas, menumbuhkan kepercayaan diri, juga mengasah kemampuan motorik anak. Karena banyak lomba yang melibatkan aktivitas fisik. Dan yang terakhir bisa untuk mengurangi ketergantungan anak pada gawai.

Namun di balik kemeriahan lomba 17-an itu, diam-diam bahaya mengancam. Beberapa orang tua tampak memaksakan anaknya untuk mengikuti lomba. Mereka kurang memahami perasaan anak, apakah anak merasa nyaman dan senang mengikuti berbagai lomba yang ditawarkan atau sebaliknya: penuh ketakutan kecemasan dan kekhawatiran akan kegagalan.

Seperti video viral yang beredar di Tiktok, seorang anak balita yang tampaknya terpaksa mengikuti lomba merangkak di dalam kardus bekas. Di video tersebut tampak anak harus masuk ke dalam lingkaran kardus dengan posisi merangkak dan harus mendorong kardus dengan kedua tangannya sampai menuju garis finish. Anak berbaju biru itu menangis namun tetap berusaha merangkak meski kesulitan.

Respon penonton orang dewasa? Mereka menyaksikan adegan itu sebagai hal yang lucu dan mentertawakan. Adegan itu dianggap sebagai hiburan gratis. Penonton yang lain mencemooh dan menyampaikan kata-kata yang menghukum . Tentu saja ada yang merekam dan mendokumentasikan dan menyebarkan ke sosial media tanpa seijin anak atau orangtuanya.

Video lain yang juga beredar menunjukkan seorang anak balita yang mengikuti lomba tiba-tiba menangis histeris. Tampaknya dia syok, ternyata dia harus nyebur ke kolam-kolaman yang dibuat dari plastik untuk menangkap belut. Bayangkan anak sekecil itu harus menangkap belut, sementara dia sendiri mungkin belum memahami belut itu hewan macam apa.

Anehnya di video itu tampak seorang ibu-ibu memaksa anak tersebut masuk ke kolam dengan mengangkat tubuhnya untuk dimasukkan ke kolam, padahal anak jelas-jelas dalam kondisi meraung-raung ketakutan.

Orang dewasa itu tidak menyadari benar apa yang dilakukannya itu sangat berbahaya bagi perkembangan psikologis anak meskipun bagi warga hal itu dianggap biasa saja.

Peristiwa lain yang menunjukkan perundungan terselubung itu bisa kita lihat pada lomba makan kerupuk. Dalam video yang beredar, anak laki-laki balita itu tetap diam saja, tidak berusaha sama sekali untuk segera memakan kerupuk seperti teman-temannya.

Wajahnya menunjukkan penolakan. Gesturnya menyampaikan pesan ia melakukan itu dengan keterpaksaan dan kebencian. Namun tampaknya ia tak berdaya menghadapinya kekuatan besar di luar dirinya. Karena itu ia mogok makan kerupuk meski ia mengikuti lomba.

Beberapa orangtua bisa jadi tidak memahami bahwa apa yang dilakukan ini dengan memaksa anak-anakya adalah sebuah bentuk bullying (perundungan) terselubung. Apalagi ditambah tuntutan untuk memenangkan lomba. Efeknya bisa sampai jauh ke depan, jangka panjang sampai ke masa dewasanya.

Dari berbagai sumber menyebutkan, anak yang di-bully berisiko lebih tinggi mengalami masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan gangguan stres pasca-trauma (PTSD) saat dewasa. Perasaan rendah diri, tidak berdaya, dan isolasi sosial yang dialami saat dibully dapat terus membayangi kehidupan mereka.

Pengalaman bullying bisa juga merusak kepercayaan diri seseorang secara signifikan. Di masa depan, sebagai orang dewasa, mereka mungkin merasa tidak yakin dengan kemampuan mereka, sering meragukan diri sendiri, dan cenderung menghindari tantangan atau situasi sosial.

Korban bullying sering kali juga mengalami kesulitan dalam membangun dan mempertahankan hubungan sosial yang sehat. Mereka mungkin menjadi terlalu defensif, takut ditolak, atau sebaliknya tidak mandiri, terlalu bergantung pada orang lain.

Pengalaman negatif selama masa kecil juga dapat mempengaruhi performa akademik dan karier seseorang. Mereka mungkin merasa cemas di tempat kerja, kesulitan mengambil inisiatif, atau mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan rekan kerja atau atasan. Lebih parah lagi, tidak bisa berkolaborasi dengan pihak lain;

Beberapa korban bullying mungkin mengembangkan pola perilaku yang membuat mereka menjadi pelaku bullying di masa dewasa, baik dalam hubungan pribadi maupun profesional. Ini bisa terjadi sebagai mekanisme pertahanan atau sebagai cara untuk mencoba mengontrol situasi yang mereka anggap serupa dengan pengalaman masa lalu mereka.

Tentu saja efek perundungan juga mengancam kesehata fisik, mulai dari kesulitan tidur, gangguan pencernaan dan sakit kepala yang akan berdampak dalam jangka panjang.

Pengalaman bullying yang berat dan berkepanjangan dapat meningkatkan risiko pengembangan gangguan kepribadian, seperti gangguan kepribadian paranoid. Ini bisa terjadi karena pola pikir dan perilaku maladaptif yang terbentuk sebagai respons terhadap pengalaman traumatik.

Meskipun begitu ada juga pendapat seseorang yang mendukung dengan mengatakan bahwa, lomba-lomba ini dapat memberikan manfaat bagi anak-anak.

Beberapa berpendapat bahwa kompetisi sehat dapat mengajarkan anak-anak tentang kerja keras, ketekunan, dan sportivitas. Dalam konteks ini, bullying dapat dilihat sebagai bagian dari proses pembelajaran yang lebih besar, di mana anak-anak belajar untuk menghadapi tantangan dan mengatasi rasa sakit emosional. Mereka percaya bahwa pengalaman ini dapat membantu anak-anak tumbuh menjadi individu yang lebih kuat dan tangguh.

Pro dan kontra dari fenomena ini menciptakan perdebatan yang menarik. Di satu sisi, ada argumen bahwa bullying dapat menjadi bagian dari pengalaman belajar yang penting. Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran tentang dampak jangka panjang dari bullying pada kesehatan mental anak-anak.

Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami bullying dapat menghadapi masalah kesehatan mental yang serius, termasuk depresi dan kecemasan yang dapat berlanjut hingga dewasa.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

More like this
Related

Taj Yasin Maimoen Siapkan Rahasia Khusus untuk Hadapi Debat Kedua Pilgub Jateng

Jawa Tengah tengah dipanaskan dengan persiapan ketat dari para...

Pilkada Banjarbaru, Petahana Terancam Diskualifikasi Gara-Gara Hal Ini

Tensi Pilkada Kota Banjarbaru 2024 memuncak dengan isu diskualifikasi...

Cerita Felicia Reporter tvOne Selamat dari Kecelakaan Maut di Tol Pemalang

Mobil yang membawa lima kru tvOne ditabrak oleh sebuah...

Momen Seru dari Debat Pilkada Jateng: Ubah Air Asin, Teknologi Satelit hingga Cagub Salah Sebut Wakilnya

Dalam debat perdana Pilkada Jawa Tengah yang digelar pada...