Suku Korowai dan Tradisi Rumah Pohon, Bukti Kecerdasan dan Kearifan Lokal di Papua
Di pesisir selatan Papua, terdapat sebuah suku unik yang memiliki tradisi luar biasa dalam arsitektur, Suku Korowai. Mereka terkenal dengan rumah-rumah pohon yang menjulang tinggi di atas tanah, berada di tengah hutan hujan tropis yang lebat.
Bagi suku ini, rumah pohon bukan sekadar tempat tinggal, tetapi juga bentuk perlindungan dari ancaman eksternal, baik dari binatang buas, nyamuk malaria, hingga serangan makhluk gaib yang mereka sebut ‘laleo’ atau iblis.
Rumah-rumah pohon Suku Korowai dibangun di ketinggian antara 12 hingga 35 meter dari permukaan tanah.
Ketinggian ini, yang tampaknya ekstrem, memiliki tujuan penting. Semakin tinggi rumah pohon, semakin aman keluarga yang tinggal di dalamnya dari berbagai ancaman.
Dikutip dari berbagai sumber, salah satu ancaman yang paling ditakuti adalah ‘laleo’, makhluk seperti mayat hidup yang dipercaya sering mengganggu di malam hari. Selain itu, posisi rumah yang tinggi juga menjaga penghuni dari nyamuk malaria dan binatang buas.
Pembangunan rumah pohon ini dilakukan dalam waktu sekitar dua hingga tujuh hari, bergantung pada ukurannya. Proses pembangunan dilakukan secara gotong royong, menggunakan bahan-bahan alami yang ada di sekitar mereka, seperti kulit pohon, ilalang, daun sagu, pelepah sagu, rotan, akar, dan ranting. Pohon yang dipilih sebagai penyangga utama biasanya memiliki diameter minimal satu meter, yang menjamin kekokohan rumah tersebut.
Rumah yang lebih besar bahkan memiliki penyekat ruang dan pintu yang dirancang khusus untuk memisahkan area pria dan wanita. Desainnya juga cukup canggih, dengan perapian dari tanah liat yang bisa dijatuhkan jika api tidak terkendali, menjamin keamanan dari kebakaran. Rata-rata, rumah pohon ini memiliki ukuran sekitar tujuh kali sepuluh meter dan mampu menampung satu keluarga besar.
Tradisi dan Kehidupan Sosial di Atas Ketinggian
Bagi suku Korowai, rumah pohon lebih dari sekadar tempat tinggal fisik. Rumah ini juga mencerminkan kehidupan sosial dan spiritual mereka. Setiap bidang tanah yang sudah dibersihkan untuk pemukiman biasanya dihuni oleh dua hingga tiga rumah pohon.
Kematian salah satu anggota keluarga sering kali menjadi alasan mereka berpindah tempat tinggal, dengan upacara penguburan yang dilakukan di bawah rumah pohon.
Wilayah geografis yang ditempati oleh Suku Korowai biasanya memiliki batas-batas yang terkait erat dengan mitos asal-usul marga mereka dan roh-roh leluhur.
Ritual seperti “pesta ulat sagu” yang merupakan pusat kehidupan spiritual masyarakat Korowai, dilakukan di lokasi-lokasi suci yang terhubung dengan legenda dan geografi setempat. Ini menunjukkan betapa eratnya hubungan mereka dengan alam dan budaya leluhur.
Meski Suku Korowai dikenal sebagai pemburu ulung dan hidup mandiri di hutan, perubahan zaman mulai mempengaruhi cara hidup mereka. Pemerintah setempat telah memindahkan sebagian suku ini ke pemukiman yang lebih modern di Kampung Basman, Kabupaten Mappi.
Di sini, mereka tinggal di rumah panggung beratap seng dan berdinding papan. Program relokasi ini memang bertujuan meningkatkan kualitas hidup, tetapi di sisi lain, tradisi membangun rumah pohon Suku Korowai terancam punah.
Rumah pohon bukan sekadar konstruksi arsitektur biasa, melainkan simbol kecerdasan dan kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun. Pelestarian tradisi ini penting agar generasi mendatang bisa memahami dan menghargai kebudayaan suku Korowai. Dalam konteks modern, arsitektur rumah pohon bahkan dapat menjadi objek wisata budaya berkelanjutan, yang tidak hanya memberikan keuntungan ekonomi bagi suku ini tetapi juga menjaga agar tradisi mereka tetap hidup.
Penyesuaian dengan Dunia Luar
Sebelum kontak dengan dunia luar, Suku Korowai menganggap orang asing sebagai ‘laleo’, iblis yang berjalan. Mereka juga menyebut barang-barang dari luar sebagai milik iblis, seperti beras yang disebut sagu iblis, atau atap logam yang disebut ilalang dari iblis.
Awalnya, mereka menolak barang-barang dari dunia luar, meskipun bermanfaat seperti kapak logam atau mata kail. Namun seiring berjalannya waktu, Suku Korowai mulai menerima benda-benda modern seperti korek api gas, parang logam, makanan kaleng, dan mi instan, yang akhirnya menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Upaya Pelestarian
Dalam tulisan Yandi Andri Yatmo di laman ui.ac.id, dijelaskan bahwa arsitektur Suku Korowai memberikan pengaruh terhadap dunia arsitektur Indonesia. Mereka memiliki cara unik dalam mendefinisikan ruangan yang sangat dipengaruhi oleh budaya lokal.
“Cara mereka membangun rumah dengan memanfaatkan alam sekitar dan penataan ruangan yang mengutamakan aspek budaya serta jenis kelamin, menjadi pelajaran penting bagi perkembangan arsitektur Indonesia,” tulisnya.
Pelestarian tradisi rumah pohon suku Korowai harus mencakup tidak hanya fisik bangunan tetapi juga pengetahuan dan keterampilan dalam pembangunannya. Kearifan lokal dalam membangun rumah pohon bisa menjadi kajian menarik untuk ilmu arsitektur modern. Selain itu, rumah pohon ini juga bisa dikelola sebagai objek wisata budaya berkelanjutan berbasis eco-culture, sehingga Suku
Korowai bisa mendapatkan keuntungan ekonomi dari keunikan budaya mereka.
Alternatif lain yang bisa dilakukan adalah membangun museum terbuka, di mana rumah pohon bisa dipelihara dengan baik dan menjadi tempat bagi Suku Korowai untuk mengekspresikan budaya mereka. Dengan demikian, tradisi yang telah mereka jaga selama berabad-abad dapat terus dilestarikan dan dihormati oleh generasi mendatang.
Suku Korowai dengan tradisi rumah pohonnya adalah salah satu contoh nyata dari kecerdasan arsitektural yang terintegrasi dengan alam dan budaya. Meski saat ini mereka mulai terpapar dengan dunia luar, pelestarian tradisi ini sangat penting agar kebudayaan unik ini tidak hilang.
Rumah pohon Suku Korowai bukan sekadar tempat tinggal, tetapi juga bukti ketahanan dan kemampuan manusia untuk beradaptasi di lingkungan yang sulit. Tradisi ini perlu dilestarikan, bukan hanya untuk kepentingan suku tersebut, tetapi juga untuk pemahaman kita tentang keberagaman budaya di dunia.
Penulis Purba Handayaningrat.


