Dulu, belanja pakaian bekas, second hand itu dianggap hina dina. Namun dunia berputar, sekarang malah sebaliknya. Belanja barang bekas alias thrifting makin menjadi tren. Lihat saja lapak-lapak offline di Pasar Senen, Jakarta Pusat, Pasar Gede Bage di Bandung, Jawa Barat atau di olshop-olsop yang bertebaran di berbagai platform selalu ramai. Bahkan di Tiktok, orang jualan pakaian bekas hampir 24 jam non stop.
Pembelinya juga banyak, termasuk aku. Harus sabar dan jeli untuk mendapatkan barang yang sesuai keinginan. Harganya sangat jauh lebih rendah dibanding harga aslinya. Brand-brand ternama masih dijual dengan harga cukup tinggi. Namun banyak juga yang murah. Misalnya selembar kemeja panjang bahan linen dari brand tekenal dijual dengan harga 100 ribuan. Kondisi like new.
Di Inggris menurut laporan Pasar Etis Bank Koperasi tahun 2023, penjualan pakaian bekas naik hampir 50 persen dibanding tahun sebelumnya. Dan sebanyak 67 persen anak muda ( generasi Z) membeli pakaian bekas.
Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan sejak 2013 hingga 2022, Indonesia telah mengimpor 870,4 ton baju bekas dari 92 negara. Gen Z tentu yang menjadi salah satu target market-nya.
Karakter Generasi Z memang unik. Mereka lahir ditengah perubahan teknologi yang begitu cepat, sehingga mereka mempunyai karakter yang lebih terbuka dengan hal baru, kritis, dinamis, kreatif dan mandiri.
Selain cepat dalam mengadopsi teknologi baru, kelompok netizen yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012 ini dikenal dengan ketertarikannya pada isu-isu sosial dan lingkungan. Dunia mereka telah terhubung, sehingga mereka lebih mudah mendapatkan informasi dan gerakan sosial di seluruh dunia.
Pentingnya Identitas Personal
Mereka dianggap lebih sadar soal kesehatan mental dibanding generasi sebelumnya. Mereka juga merupakan generasi yang lebih aware akan pentingnya identitas personal. Salah satunya dengan memilih fashion yang keberlanjutan.
Salah satu wujud nyata dari nilai-nilai ini, mereka lebih memilih belanja fashion bekas atau second hand atau thrift. Akhir-akhir ini kebangkitan thrifting sebagai tren dalam dunia fashion semakin populer di kalangan mereka.
Thrifting telah menjadi bagian dari gaya hidup yang bukan hanya berorientasi pada penghematan, tetapi juga menjadi bentuk ekspresi diri yang unik dan peduli terhadap lingkungan.
Personalized fashion melalui thrifting telah mengubah cara Gen Z memandang dunia mode. Saat era fast fashion mendominasi, Gen Z memilih jalan yang lebih kreatif dan bertanggung jawab dengan menggali harta karun fashion dari toko-toko barang bekas.
Bagi mereka, ini bukan hanya soal membeli pakaian yang terjangkau, tetapi juga menciptakan gaya yang unik, otentik, dan ramah lingkungan.
Ada beberapa alasan mengapa thrifting semakin populer di kalangan Gen Z. Salah satu faktor utamanya adalah keinginan untuk tampil beda dari yang lain.
Di tengah banjirnya tren mode massal yang nyaris seragam, Gen Z melihat thrifting sebagai cara untuk menemukan pakaian yang unik. Mereka ingin membedakan diri dari yang lain dengan memadukan berbagai gaya dari era berbeda yang jarang ditemukan di toko-toko konvensional.
Thrifting memungkinkan mereka mengekspresikan identitas diri yang otentik tanpa mengikuti arus mode yang mainstream.
Pemahaman Lebih Mendalam
Selain itu, Gen Z juga sangat peduli terhadap masalah lingkungan. Mereka tumbuh dengan pemahaman yang mendalam tentang dampak buruk industri mode terhadap bumi, seperti pencemaran air, limbah tekstil, dan emisi karbon yang dihasilkan oleh fast fashion.
Bagi Gen Z, thrifting tidak hanya hemat biaya tetapi juga menjadi langkah nyata untuk mendukung keberlanjutan. Dengan membeli pakaian bekas, mereka membantu mengurangi produksi pakaian baru yang memerlukan banyak sumber daya alam. Ini adalah cara mereka berkontribusi untuk meminimalkan dampak negatif dari industri fashion terhadap lingkungan.
Thrifting bukan hanya tentang personalisasi dan gaya, tetapi juga membawa dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat. Dengan membeli pakaian bekas, Gen Z turut serta dalam memutus siklus konsumsi berlebihan dan produksi yang berpotensi merusak lingkungan.
Setiap pakaian yang dibeli di thrift shop adalah satu pakaian yang tidak perlu diproduksi kembali, sehingga mengurangi permintaan terhadap produksi tekstil baru yang sering kali menggunakan bahan kimia berbahaya dan memerlukan sumber daya alam yang besar.
Selain itu, dengan mendukung thrift shop, Gen Z juga membantu bisnis-bisnis lokal atau badan amal yang biasanya mengelola toko-toko ini. Banyak thrift shop yang berbasis komunitas atau diselenggarakan oleh lembaga-lembaga sosial yang menggunakan hasil penjualan untuk mendanai program-program kemanusiaan atau lingkungan.
Dengan berbelanja di sana, Gen Z secara tidak langsung turut membantu orang lain dan memberi dampak positif pada masyarakat.
Langkah Kecil yang Berdampak Besar
Menurut laporan dari The Ellen MacArthur Foundation, jika kita bisa memperpanjang masa pakai pakaian hanya sembilan bulan, kita dapat mengurangi emisi karbon, penggunaan air, dan limbah tekstil hingga 20-30%. Gen Z yang sadar akan data ini semakin yakin bahwa thrifting adalah langkah kecil yang bisa memberi dampak besar pada planet ini.
Saat memutuskan mau membeli produk, faktor lain yang menentukan keputusan adalah proses pembuatannya. Gen Z yang memilih slow fashion juga mempertimbangkan efeknya pada Kesehatan. Mereka akan memilih fashion yang memakai pewarna alam dibanding kimia.
Mereka juga lebih aware apakah dalam proses pembuatannya, para karyawan dan orang-orang atau komunitas, lembaga yang terlibat sudah mendapatkan perlakuan yang fair? Tidak diperlakukan semena-mena dan hanya memikirkan keuntungan semata.
Thrifting makin populer juga karena peran sosial media. Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube dipenuhi dengan konten kreator yang membagikan pengalaman thrifting haul, di mana mereka menunjukkan barang-barang unik yang mereka temukan di thrift shop dan cara mereka menggunakannya untuk menciptakan penampilan yang stylish.
Selebriti dan influencer mode juga ikut meramaikan tren ini, sehingga semakin banyak anak muda yang terinspirasi untuk mencoba thrifting. Dengan tagar tertentu Gen Z saling berbagi tips tentang toko-toko barang bekas terbaik di daerah mereka, serta ide-ide kreatif untuk memadupadankan pakaian vintage dengan aksesori modern.
Ini semakin memperkuat popularitas thrifting sebagai bagian dari personalisasi gaya yang kreatif dan ramah lingkungan.
Olivia Rodrigo, penyanyi dan ikon mode di kalangan Gen Z, pernah mengatakan dalam sebuah wawancara dengan Teen Vogue, “I love thrift shopping. It’s like finding hidden gems that no one else has, and I feel like I’m making a positive impact by recycling fashion.”
Pengaruh tokoh publik seperti Olivia membantu menumbuhkan minat pada thrifting di kalangan penggemarnya dan membuat aktivitas ini terlihat keren dan bermanfaat.
Meski thrifting terus mengalami peningkatan popularitas, ada beberapa tantangan yang dihadapi, seperti keterbatasan ukuran dan kualitas barang. Pakaian di thrift shop sering kali tidak tersedia dalam semua ukuran, sehingga menyulitkan beberapa orang untuk menemukan barang yang pas.
Namun, Gen Z tetap bersemangat dengan menjadikan tantangan ini sebagai peluang untuk bereksperimen dengan pakaian yang mungkin tidak biasa mereka pilih di toko-toko mode komersial.
Thrifting bukan sekadar tren mode tapi bagian dari gaya hidup yang mencerminkan nilai-nilai mereka tentang individualitas, keberlanjutan, dan kreativitas.