Demi meraup untung lebih, masih ada saja maskapai yang nekat menjual tiket untuk pesawat yang batal terbang. Baru-baru ini, Qantas Airlines terkena denda senilai USD 100 juta atau setara Rp 1,6 triliun lantaran tetap menjual tiket pada penerbangan yang telah dibatalkan.
Praktek ini, telah dilakukan selama beberapa tahun terakhir. Lebih dari itu, dalam sidang pengadilan disebutkan, sebagian manajer senior mengetahui praktik tersebut.
Melansir laman 9news.com.au, Selasa (15/10/2024), Komisi Persaingan dan Konsumen Australia (ACCC) menggugat perusahaan tersebut di Pengadilan Federal atas tindakan tidak jujur terkait penjualan tiket pada penerbangan yang dibatalkan. Maskapai penerbangan nasional tersebut mengaku menipu dan menipu pelanggan dengan terus menjual tiket pada penerbangan yang telah dibatalkan.
Pihak maskapai juga dengan sengaja menunda memberi tahu pelanggan yang telah memesan tiket bahwa penerbangannya sebenarnya sudah tidak terdaftar.
Hakim Helen Rofe menuntut Qantas membayar denda senilai USD 100 juta atau Rp 1,6 triliun setelah badan pengawasan konsumen dan maskapai menyepakati nominal tersebut.
“Ini merupakan sanksi penting dan menjadi pertanda kuat bagi seluruh pengusaha, besar atau kecil bahwa mereka akan menghadapi konsekuensi serius jika berupaya menipu konsumen,” terang pimpinan ACCC Gina Cass-Gottlieb setelah putusan pengadilan tersebut diumumkan.
Tiket terjual pada penerbangan yang sudah dibatalkan antara 21 Mei 2021 dan 26 Agustus 2023, untuk penerbangan yang dijadwalkan antara 1 Mei 2022 dan 10 Mei 2024. Penjualan tiket kosong ini melibatkan 86.597 pelanggan di lebih dari 70 ribu penerbangan.
Penjualan kursi terus berlanjut selama sekitar 11 hingga 62 hari setelah Qantas memutuskan untuk membatalkan penerbangan. Sementara itu perusahaan membutuhkan waktu sekitar 11 hingga 67 hari untuk memberitahu pelanggan mengenai pembatalan penerbangannya.
Pengacara ACCC Christopher Caleo mengatakan, sejumlah manajer senior maskapai penerbangan tersebut mengetahui berbagai aspek dari masalah ini, termasuk penerbangan yang dibatalkan tidak dihapus dari halaman pemesanan. Bahkan para pelanggan disebut masih dapat memesan penerbangan tersebut.
Parahnya, tidak satu pun manajer yang menyadari masalah ini secara keseluruhan.
“Qantas menyadari kekurangan dalam sistem mereka. Meskipun menyadarinya, penyakit ini tetap ada dalam jangka waktu yang lama dan berdampak pada banyak konsumen,” tutur Caleo.
Qantas didenda USD 70 juta karena terus menjual tiket pada penerbangan yang dibatalkan dan menyebabkan kerugian besar pada para konsumen. Selain itu, kegagalan untuk segera memberi tahu pelanggan tentang penerbangan yang dibatalkan membuat Qantas didenda sebesar $30 juta.
“Anda semua mengetahui ketidaknyamanan dari pembatalan penerbangan. Jika hal ini terjadi, konsumen perlu mengetahui pembatalan tersebut sesegera mungkin, sehingga mereka dapat mencari alternatif pengaturan yang sesuai dengan mereka,” kata Cass-Gottlieb.
Sekitar 880 ribu konsumen terkena dampak tindakan Qantas tersebut.
Sebagai maskapai penerbangan terbesar di Australia, diperlukan sanksi yang signifikan untuk mencegah perusahaan kembali melakukan hal serupa.
“Qantas menyesal terlibat dalam tindakan ini,” kata pengacara Ruth Higgins.
Qantas mengatakan pihaknya telah melakukan perubahan pada sistemnya dan setuju untuk memberi tahu pelanggan tentang penerbangan yang dibatalkan tidak lebih dari 48 jam sejak pembatalan penerbangan.
Perusahaan juga berkomitmen untuk berhenti menjual tiket untuk perjalanan yang dibatalkan dalam waktu 24 jam. Kesepakatan ini juga berlaku untuk anak perusahaannya, Jetstar.
Penulis: Siska Amelie Fabiola Deil


