Beberapa kaum Boomer merasa Generasi Z (GEN Z) punya sekian banyak daftar perilaku negatif terutama soal etika, adab dan etos kerja. Hal ini tampak dari perbincangan yang hangat di Thread beberapa waktu lalu dan di berbagai platform sosmed lain.
Seorang akun Thread menceritakan pengalamannya. Rumahnya berada di dekat kampus. Tentu saja mahasiswanya mayoritas lahir antara tahun 2000-an atau Generasi Z. Dia menyampaikan, Gen Z yang ia temui ini memang minim adab dan etika. Saat melakukan kesalahan dan ditegur mereka tidak minta maaf, tapi sebaliknya malah cuek saja dan bahkan berani melawan. Ini mendapatkan validasi dari dosen-dosen yang mengajar di sini.
Di dunia kerja, ada pengalaman menarik. Teman saya pernah mempekerjakan seorang gen Z. Ia meminta tolong untuk mendesain poster sebuah event dengan tema yang cerah ceria. Sang designer tidak menolak, namun setelah jadi hasilnya sungguh ajaib. Ia membuat design dengan tema vintage yang buram dan muram, tak seperti yang ditugaskan.
Designer ini tidak merasa bersalah. Ketika ditanya kenapa tak sesuai brief, ia menjawab bahwa ia tidak suka dengan desain yang penuh warna. Kalau mau desain seperti itu, minta tolong saja ke designer lain. Teman saya tidak marah, dia malah ngakak. Karena ia sudah terlalu sering mengalami hal-hal di luar ekspektasinya berkaitan dengan gen Z di tim-nya. Bukan Cuma soal etos kerja, maaf dan terimakasih saja.
Soal adab, beberapa Gen Z bisa jadi tak bermaksud kurang ajar sama sekali , namun bisa jadi karena menganggap hal itu kurang penting, tak efektif dan efisien. Mereka harus menghadapi beragam masalah yang lebih real dalam kehidupan sehari-harinya.
Zaman dulu, adab seseorang untuk menandakan dia menghormati seseorang (raja) harus berjalan dengan berjongkok saat menghadap. Selanjutnya, bentuk penghormatan berubah menjadi cukup membungkukkan badan saja. Berikutnya cukup menganggukan kepala. Dan ke depan bentuknya pasti akan berubah karena masyarakat juga terus berubah.
Wasino, dalam bukunya Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran (1896-1944) menulis bawah Raja Mangkunegara mengubah adab tradisi penghormatan di istana. Sebelumnya jika keluarga raja akan menghadap kepada pejabat yang lebih tiinggi wajib berjalan dengan berjongkok lalu bersila di lantai dan melakukan sembah setiap kali mau bicara.
( Andai hari ini tetap diberlakukan, jadi seperti adegan pertunjukan ketoprak kan?)
Mangkunegara VI lalu membuat kebijakan baru, keluarga raja, naraparan Ketika mau menghadap tidak perlu lagi berusah-susah berjalan berjongkok, namun bisa langsung menghadap asal berlaku sopan. Kalau memang disediakan kursi, bisa langsung di kursi. Dan semua baik-baik saja, tak ada yang merasa terganggu sama sekali. Mungkin justru malah semua senang, karena dirasa lebih efektif dan efisien.
Sebagai digital native, Gen Z yang populasi mencapai hampir 75 juta jiwa atau 27% dari total populasi nasional hidup dengan teknologi, dari pagi sampai pagi. Semua aktivitas dilakukan secara online. Mulai dari belajar, bermain, berbelanja, berpacaran dan mencari hiburan dan kesenangan lainnya dilakukan sambil rebahan. Tak perlu susah-susah harus keluar rumah.
Namun di balik segala kemudahan itu, sebenarnya gen Z harus menghadapi banyak tantangan, masalah yang tak pernah dialami oleh generasi sebelumnya. Yang paling sering dibahas adalah soal kesehatan mental. Mulai dari depresi, cemas, takut , kesepian, tertekan dan kurang percaya diri.
Gen Z dinilai kurang tahan banting, gampang menyerah, rapuh dalam menghadapi masalah hidup yang dihadapinya. Salah contohnya satunya seperti postingan dengan hashtag
wesurvived di sosmed beberapa waktu lalu yang viral.
Dalam postingan itu disampaikan bahwa hari ini anak-anak sekarang wisuda SMA saja memakai tagar #wesurvived. Padahal, masih menurut akun tersebut, mereka belum pernah bayar cicilan sama sekali.
Kasus yang lebih parah adalah kasus bunuh diri seorang guru muda di jembatan layang Cimindi, Cimahi, Jawa Barat, Jumat (28/6/2024). Sebelum melakukan aksinya ini, dia meninggalkan surat dalam bentuk file. Terungkap ia merasa dunia tidak lagi ramah pada dirinya, sehingga memutuskan mengakhiri hidupnya.
Generasi Z sering kali menghadapi tekanan sosial dan ekspektasi yang tinggi di media sosial. Hal ini dapat mempengaruhi kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan kurangnya rasa percaya diri.
Selain masalah Kesehatan mental, Gen Z juga punya tantangan lainya, mereka mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap perkembangan teknologi yang cepat. Ketergantungan pada teknologi, seperti smartphone dan beragam aplikasi yang terus bermunculan, dapat mengganggu interaksi sosial langsung, mengganggu jam tidur, dan kehidupan yang tidak seimbang antara online dan offline.
Aktivitas online yang terus menerus itu mampu mengurangi kemampuan Generasi Z untuk memahami dan merasakan empati terhadap orang lain. Interaksi yang seringkali dilakukan melalui layar ponsel atau laptop dapat mengurangi kemampuan membaca ekspresi wajah dan emosi secara langsung lawan bicara.
Selain itu, Generasi Z sering terjebak dalam pola perilaku multitasking yang dapat mengganggu fokus dan konsentrasi. Gangguan perhatian akibat paparan informasi yang valid dan hoaks yang melimpah dari segala penjuru platform itu dapat mempengaruhi produktivitas dan kualitas kerja.
Dunia digital sangat rentan dengan kejahatan cyber. Tak ada tempat yang aman di internet. Di atas langit masih ada langit. Data pribadi kita yang kita bagikan secara online sangat mungkin disalahgunakan, dicuri lalu dijual oleh para pecoleng (cracker) untuk mendapatkan keuntungan finansial, politis atau yang lain.
Perubahan teknologi ini juga memengaruhi dunia kerja. Generasi Z dipaksa menghadapi tuntutan untuk mengembangkan ketrampilan baru sesuai permintaan skill yang berlaku saat ini. Hal ini bisa menyebabkan ketidakpastian dalam karir, karen itu harus bisa beradaptasi dengan perubahan yang cepat itu dengan belajar seumur hidup agar tetap bisa relate.
Penggunaan elemen visual sangat mendominasi. Nyaris semua aplikasi di HP sampai sosial media semuanya memakai foto, video dan grafik yang membuat tampilan lebih eye catching. Seperti di Instagram, Thread, Pinteres dan Tiktok.
Budaya visual ini sangat mempengaruhi persepsi Gen Z terhadap penampilan, khususnya kecantikan/kegantengan. Standar kecantikan, kegantengan di media sosial yang tidak realistis itu bisa mempengaruhi Gen Z dalam menilai dirinya. Sehingga mereka merasa dituntut untuk selalu menampilkan dirinya dalam kondisi yang ideal untuk mendapatkan perhatian netijen.
Banyak netijen yang berusaha habis-habisan untuk tampil ideal, meskipun realnya tidak seperti itu atau bahkan sebaliknya. Sampai ada joke yang beredar, “kita adalah yang bukan kita posting”.
Generasi sebelumnya ( Gen X, Y dan Milenial) idealnya membantu, memberikan ruang yang cukup untuk membantu, mendampingi dan memberikan perspektif baru, saat mereka harus menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Dengan pengalamannya generasi sebelumnya ini bisa menjadi inspirasi dan role model dalam membangun karir di masa depan. Bukan menghakimi dengan melabeli mereka dengan sebutan-sebutan yang berkonotasi negatif.
Siap?