Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Arteria Dahlan menjadi sorotan karena secara tiba-tiba memuji presiden terpilih Prabowo Subianto.
Pujian setinggi langit untuk Ketua Umum Gerindra itu disampaikan Arteria menjelang lengser dari anggota DPR yang tinggal kurang dua bulan lagi. Ia dipastikan meninggalkan Senayan setelah gagal di Pemilu 2024.
Politikus PDIP ini memuji Prabowo saat rapat dengan Menkumham Supratman Andi Agtas, Jumat (23/8/2024), sehari setelah aksi tolak revisi UU Pilkada menggema di Jakarta dan kota-kota lainnya.
Awalnya, Arteria mengaku mendapat laporan pada Rabu (21/8/2024) malam bahwa esok hari akan terjadi gelombang massa besar di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat. Namun, pada Kamis (22/8/2024) pagi dia sempat kaget melihat pengamanannya yang ‘biasa’ saja.
“Malam hari saya dapat info akan ada gelombang massa (besoknya), tapi pagi harinya saya curiga kok pengamanan DPR begini aja. Laporan kami katanya gelombang massanya besar,” kata Arteria.
Aksi besar-besaran tersebut terjadi karena DPR akan menggelar Rapat Paripurna untuk mengesahkan revisi UU Pilkada yang dinilai telah membangkangi putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab tak kuorum, DPR batal mengesahkan revisi UU Pilkada hari itu.
“Saya bilang ini ada sisi positifnya. Kok tiba-tiba jam 10 paripurnanya ditunda. Siang hari bisa-bisanya pagar DPR dipretelin, gak ada yang menghambat. Coba zaman dulu, digebuk pak. Sorenya mahasiswa masuk dibiarkan saja walau ada gesekan dikit,” ujarnya.
“Saya bilang ke Pak Kapolda, ini kasihan Pak Kapoldanya. Di satu pihak dia harus humanis, di pihak lain dia harus amankan ini objek vital negara. Kerja keras,” tambah politikus PDIP ini.
Menurut Arteria, di balik pembatalan RUU Pilkada dan sikap ‘tidak arogansi’ aparat, ada andil Prabowo. Kata dia, terlepas dari anggapan gaya pemimpin otoriter terhadap Prabowo, tapi Ketum Gerindra itu bisa memberi kesempatan rakyat bersuara.
“Kesimpulannya apa? Ini saya bicara apa adanya, ini juga saya sampaikan ke teman-teman. Ini mohon maaf ini, kalau nggak ada Pak Prabowo nggak bisa kejadian. Kesimpulannya apa? Orang yang kita anggap otoriter, totaliter, tiran, militeristik, tapi kalau kita kesempatan berbuat baik, bisa,” katanya.
Arteria mengatakan, tak ada sejarah gedung DPR dibiarkan bobol tapi aparat tak bereaksi berlebihan. Oleh karenanya, ia meminta mahasiswa yang sering bersuara dan mengkritisi pemerintah untuk memberi ruang dan kesempatan Prabowo menjalankan pemerintahannya.
“Nggak ada Pak sejarahnya gedung DPR digoyang-goyang dibiarin aja, nggak ada. Nggak ada sejarah Habiburokhman (Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Gerindra) pagar hidupnya bisa diem kalau gak ada perintah,” ujar Arteria.
“Saya bilang ke mahasiswa kalian hebat, kalian bantu kami. Tapi kalian harus kasih ruang sedikit bahwa pemerintahan baru yang berkuasa punya niatan baik untuk kalian,” sambungnya.
Fakta yang Terjadi
Pujian Arteria ke Prabowo berbanding terbalik dengan fakta yang terjadi. Ada yang menilai, pujian yang dilontarkan Arteria merupakan satire atas kondisi yang memprihatinkan di lapangan.
Diketahui, Arteria Dahlan adalah politikus PDI Perjuangan, satu-satunya partai parlemen yang kini dianggap ‘berada di luar pagar’ dengan pemerintahan Jokowi maupun presiden terpilih Prabowo Subianti.
Banyak massa yang bentrok dengan aparat. Massa dipukuli, diintimidasi, hingga ditangkap. Ini tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga daerah lainnya seperti Bandung dan Semarang.
Organisasi yang mendukung gerakan Hak Asasi Manusia (HAM), Amnesty International Indonesia (AII) menyoroti perilaku aparat saat demo penolakan revisi Undang-Undang Pilkada yang digelar di berbagai daerah.
Direktur AII, Usman Hamid mengatakan, aparat yang mengamankan aksi tolak revisi UU Pilkada bertindak brutal dan menangkap banyak massa. Ini bukan hanya di Jakarta, tapi juga di daerah lain yang menggelar aksi serupa.
“Sejak pagi, Amnesty memantau langsung jalannya protes. Di petang hari, ada banyak yang ditangkap dan diperlakukan dengan cara-cara yang tidak mencerminkan penegak hukum yang profesional,” kata Usman dalam keterangannya, dikutip dari laman AII.
Menurutnya, meskipun ada massa yang melakukan perobohan pagar Gedung DPR, bukan berarti perilaku brutal aparat boleh dilakukan. Ia mengatakan, kekuatan hanya bisa dipakai ketika polisi bertindak untuk melindungi atau menyelamatkan jiwa, baik jiwa peserta aksi maupun petugas.
“Di lapangan, kekerasan yang dilakukan aparat sangatlah tidak perlu. Tidak ada jiwa yang terancam,” tegasnya.
Perilaku aparat brutal saat mengamankan aksi bukan pertama kali terjadi. Menurut Usman, aparat yang brutal tersebut seolah tidak mau belajar dari sejarah bahwa penggunaan kekuatan eksesif telah merenggut hak asasi manusia.
“Dari hak untuk berkumpul damai, hingga hak untuk hidup, tidak disiksa dan diperlakukan tidak manusiawi. Mereka bukan kriminal, tapi warga yang ingin mengkritik pejabat dan lembaga negara. Bahkan jika melanggar hukum pun, tidak boleh diperlakukan dengan tindakan brutal,” ujar Usman.
Menurut Usman, perilaku brutal adalah bukti gagalnya aparat dalam menyadari bahwa siapapun berhak untuk memprotes melalui unjuk rasa. Siapapun berhak untuk menggugat, tidak setuju atau beroposisi. Semua itu dilindungi oleh hukum nasional maupun internasional.
“Penggunaan kekuatan yang eksesif seperti kekerasan, peluru karet, gas air mata, kanon air maupun tongkat pemukul, tidak diperlukan sepanjang tidak ada ancaman nyata. Itu harus dipertanggungjawabkan,” kata Usman.
Usman meminta pemerintah mengusut dan menindak aparat yang brutal. Ia juga meminta presiden dan DPR RI belajar menghormati hak warga negara untuk dilibatkan dalam pembuatan kebijakan.
“Sudah saatnya Indonesia meninggalkan perilaku kekerasan yang tidak perlu, menghentikan rantai impunitas dengan memproses hukum aparat keamanan yang terlibat secara terbuka, independen dan seadil-adilnya.”
Penulis: Chairil Mustami


