Sebanyak 580 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia periode 2024-2029 telah dilantik pada 1 Oktober 2024. Para wakil rakyat itu mengucap sumpah dan janji menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai legislator selama lima tahun ke depan.
Pantauan iddb.id, mereka yang sudah dilantik sebagai anggota DPR RI tampak bahagia. Mereka begitu semangat, sampai-sampai siap didemo oleh masyarakat. Hal ini seperti dikatakan anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Rio Dondokambey.
“Siap dan demo itu harus justru karena kalau enggak kita bagaimana juga,” kata Rio saat ditemui di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Selasa (1/10/2024).
Baru dilantik, anggota dewan lain mulai gembar-gembor akan merealisasikan janji-janji politiknya. Misalnya, Ahmad Dhani dari Fraksi Gerindra yang ingin melakukan perubahan di industri musik Indonesia.
“Yang nomor satu saya ingin memperjuangkan industri musik. (Kalau sudah) beres, baru memperjuangkan yang lain,” kata Dhani saat ditemui di kediamannya sebelum pelantikan anggota DPR.
“(Membenahi industri musik) nomor satu, tujuan utama. Bukannya tidak memperjuangkan yang lain, tapi yang menjadi core saya kan musik,” lanjutnya.
Terlepas dari kebahagiaan anggota dewan yang baru dilantik dan janji-janji yang akan direalisasikan, Indonesian Corruption Watch (ICW) mengungkapkan hasil temuannya bahwa sedikitnya 354 individu dari total 580 anggota DPR periode 2024–2029 memiliki latar belakang atau afiliasi dengan sektor bisnis.
“Dengan kata lain, sekitar 61 persen anggota DPR merupakan politisi pebisnis,” kata Staf Divisi Korupsi Politik ICW, Yassar Aulia dalam keterangannya. Pernyataan ini juga disampaikan Yassar dalam diskusi yang bertajuk ‘Bayang-Bayang Politisi-Pebisnis dalam Komposisi DPR 2024–2029’, Kamis (3/10/2024).
Ia menuturkan, permasalahan tersebut tidak jauh dari permasalahan laten DPR yakni ‘lingkaran setan’ korupsi politik. Ia menyoroti biaya mahal yang perlu digelontorkan untuk berpartisipasi dalam kontestasi elektoral di Indonesia, baik untuk kebutuhan kampanye resmi maupun untuk mengeluarkan ‘biaya gelap’ seperti politik uang.
“Oleh karenanya, mereka yang mampu turut serta dalam politik praktis maupun pemilihan umum hanyalah individu-individu yang memiliki sumber daya material yang kuat atau setidaknya harus memiliki kedekatan dengan para pemodal-pemodal kaya,” katanya.
Kata Yassar, fenomena tersebut pada akhirnya akan menimbulkan relasi rent-seeking atau perburuan rente. Sederhananya, biaya politik yang mahal tersebut akan dilunaskan melalui kebijakan-kebijakan partisan atau bahkan tidak jarang melalui korupsi anggaran-anggaran publik.
“Berdasarkan data KPK, DPR bahkan menjadi salah satu lembaga terkorup. Sejak 2004 sampai dengan 2023, terdapat 76 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR,” ujarnya.
Lebih lanjut ia menyampaikan, biaya politik yang terlewat mahal akan membuat calon legislatif ketergantungan kepada big donors. Ketika bekerja, para anggota dewan pada akhirnya akan mengutamakan kepentingan-kepentingan oligarki yang tidak hanya membantu dia secara materil, tapi juga telah memberikan sumbangan kepada partai politik. Fenomena ini ia anggap sebagai pembajakan demokrasi di Indonesia.
“Hal ini misalnya dapat dilihat dari bagaimana DPR selama ini menjalankan fungsi legislasi. Selama ini, DPR justru cenderung lebih kilat dan secara tidak partisipatif dalam membahas RUU yang jelas-jelas ditentang oleh publik dan mengabaikan sejumlah RUU yang bertahun-tahun mandek sekalipun telah didesak untuk segera disahkan,” katanya.
Sebagai contoh, lanjutnya, RUU Ibu Kota negara, RUU Cipta Kerja, RUU Mineral dan Batubara yang sangat kental dengan kepentingan elite dan ditentang publik malah dibahas dengan sangat cepat.
“Sedangkan, RUU Perampasan Aset, Masyarakat Adat, dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sama sekali tidak diprioritaskan hingga periode DPR 2019–2024 telah berakhir. Dari total 263 RUU di Prolegnas 2019–2024, hanya 26 RUU yang berhasil disahkan hingga akhir masa jabatan DPR 2019–2024,” bebernya.
Melihat latar belakang para anggota DPR RI saat ini, ICW memandang tren buruk seperti yang disampaikan Yassar akan terus berlanjut. Dengan banyaknya latar belakang politisi pebisnis di DPR periode ini, menurutnya konflik kepentingan antara kepentingan privat yang mengakumulasi keuntungan bisnis dan kepentingan publik yang mungkin tidak secara langsung ‘menghadirkan uang’ menjadi sulit terhindarkan.
Rekomendasi ICW
Sebagai catatan rekomendasi terhadap persoalan-persoalan tersebut, ICW mendorong beberapa hal berikut ini.
- Adanya mekanisme manajemen konflik kepentingan melalui Kode Etik DPR atau setidak-tidaknya diatur secara internal oleh setiap partai politik;
- Diperkuatnya kelembagaan partai politik, baik melalui proses kaderisasi yang lebih demokratis maupun dengan mengupayakan independensi sumber pembiayaan politik agar tidak tersandera kepentingan pendonor besar;
- Mereformasi skema pendanaan politik agar lebih transparan dan tidak terlalu mahal;
- Mendorong adanya Undang-undang atau paket regulasi yang komprehensif guna menangani konflik kepentingan di jabatan publik; dan
- Masyarakat secara kolektif lebih intens melakukan pengawasan secara kolektif terhadap anggota DPR dan proses pengisian jabatan di komisi-komisi nantinya agar tidak sarat akan konflik kepentingan.
Penulis: Mustami


