Mulai Minggu 20 Oktober 2024 kita warga negara Indonesia mempunyai presiden baru: Prabowo Subianto. Apapun yang baru biasanya memberikan sensasi lebih menyenangkan. Ketika kita mengalami hal yang baru, otak melepaskan dopamin yang berhubungan dengan perasaan senang dan lebih bersemangat. Kita juga penasaran akan seperti apa kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto selama 5 tahun ke depan.
Bagaimana presiden akan menyelesaikan tantangan-tantangan yang dihadapi Indonesia ke depan. Seperti dalam pidatonya bagaimana dia akan membalas jasa wong cilik, rakyat jelata yang miskin di desa-desa, yang telah berjuang membantu memberi makan kepada pejuang-pejuang untuk merebut kemerdekaan.
Juga bagaimana presiden baru menemukan solusi untuk anak-anak yang berangkat sekolah tanpa makan pagi, tidak punya pakaian untuk berangkat sekolah?
Menurutnya, masih banyak warga NKRI yang yang belum menikmati hasil kemerdekaan dan masih hidup di bawah garis kemiskinan dan tidak dapat pekerjaan yang baik. Dia tentu sudah menyiapkan solusi untuk memecahkan masalah tersebut. Dan ini yang paling ditunggu, bagaimana dia akan membasmi korupsi yang telah mengakar sejak lama?
Namun sayang, presiden baru tidak menyentuh sama sekali soal urgent-nya sektor IT yang saat ini tengah berkembang pesat. Mungkin masalah ini dianggap kurang penting?
Kehadiran presiden baru, Prabowo Subianto tentu memberi angin segar di tengah kebosanan (bagi sebagian orang tentunya) melihat sepak terjang Jokowi selama ini yang dianggap merusak demokrasi. Apalagi dia terlalu aktif membuat keputusan penting menjelang lengser.
Namun warga tetap menaruh harapan pada kepemimpinan baru ini meskipun ada juga yang skeptis bahkan khawatir dengan apa yang akan terjadi selama 5 tahun ke depan.
Jangan Berharap Terlalu Tinggi
Tentu ini beralasan, kalau dilihat dari orang-orang yang membantunya alias para menterinya, sebanyak 50 persen adalah menteri lama era Jokowi. Jadi sebaiknya tidak berharap terlalu tinggi, nanti jika ekspektasi itu tak terpenuhi, jatuhnya bisa sangat menyakitkan.
Saat kampanye pilpres Prabowo Subianto telah menebar janji-janji manis. Di panggung kampanye, ia berjanji akan membawa Indonesia menjadi negara yang lebih kuat, mandiri, dan makmur. Ia juga menjanjikan perhatian lebih terhadap sektor pertanian, keamanan nasional, serta kemandirian energi.
Janji-janji ini membuat banyak orang tersenyum optimis, terutama mereka yang menganggap Jokowi terlalu fokus pada infrastruktur tanpa memperhatikan sektor-sektor lain yang dianggap “lebih penting”. Namun, seberapa realistis semua itu?
Dalam dunia politik, janji-janji sering kali hanya semacam pelangi yang terlihat indah dari kejauhan namun sebenarnya itu tidak nyata.
Mengingat latar belakang Prabowo yang berasal dari militer dan sejarah panjangnya dalam politik Indonesia, kita bisa berharap segala sesuatu akan berjalan sesuai janjinya.
Salah satu janji besar Prabowo adalah kemandirian ekonomi. Ini adalah mimpi yang sudah lama diucapkan oleh berbagai pemimpin Indonesia, tetapi hingga kini belum terwujud. Prabowo Subianto berjanji akan mewujudkan hal itu dalam waktu yang tidak lama, sekitar 4 sampai 5 tahun.
Perlu Perubahan Sistemik
Dari era Soekarno hingga Jokowi, kemandirian ekonomi selalu menjadi isu sentral, namun tak pernah benar-benar tercapai. Ketergantungan Indonesia pada impor masih tinggi, dan sektor pertanian yang menjadi prioritas Prabowo terus tertinggal dalam hal inovasi dan efisiensi.
Diprediksi impor beras tahun 2024 bisa mencapai 5 juta ton, meningkat drastis dari tahun 2023 yang sebanyak 3,5 juta ton.
Dengan kepemimpinan Prabowo, ada harapan bahwa dia dengan ketegasannya mampu mewujudkan hal ini. Namun, kita semua memahami kemandirian ekonomi bukanlah sesuatu yang bisa dicapai hanya dengan pidato berapi-api dan kepalan tangan.
Ini membutuhkan reformasi mendalam, perubahan sistemik, dan waktu yang sangat panjang. Apakah Prabowo mampu mengubah semua itu dalam satu atau dua periode kepemimpinan? Mengingat birokrasi yang berbelit-belit dan terutama tantangan perubahan mindset para pejabat yang sekarang ini?
Sebelumnya Jokowi dikenal dengan gaya kepemimpinan “blusukan”-nya, mendekati rakyat langsung, mendengar keluhan di lapangan, masuk gorong-gorong dan mencoba memberikan solusi cepat.
Gaya kepemimpinan ini mungkin tidak selalu efektif, tetapi setidaknya memberikan rasa dekat antara pemimpin dan rakyatnya. Kini, gaya tersebut akan digantikan dengan pendekatan yang lebih tegas dan formal ala militer dengan aturan yang ketat
Bagi sebagian orang, kepemimpinan Prabowo yang “tegas” ini dianggap sebagai perubahan yang diharapkan. Tapi bagi yang lain, ini justru menimbulkan kekhawatiran.
Skenario Terburuk
Apakah kita akan melihat pendekatan yang lebih kaku dalam pemerintahan, dengan kebijakan-kebijakan yang diambil tanpa memperhitungkan aspirasi rakyat? Atau mungkin kita hanya akan melihat lebih banyak parade militer?
Dalam skenario terburuk, ketegasan ini bisa berubah menjadi otoritarianisme, di mana keputusan diambil secara sepihak dan kritik dibungkam.
Bagaimanapun juga, seorang mantan jenderal yang memimpin negara bukanlah hal baru dalam sejarah dunia, dan contoh-contoh sebelumnya sering kali tidak terlalu menggembirakan.
Salah satu isu penting yang dihadapi oleh Indonesia dan dunia saat ini adalah lingkungan hidup. Di era Jokowi, kasus bencana ekologi menurut catatan Walhi mencapai 5402 kasus pada 2021.
Lantas, bagaimana dengan Prabowo? Saat pidato pertamanya ia sama sekali tidak membahas isu lingkungan hidup. Isu bencana ekologi atau hal yang berhubungan dengan kelestarian lingkungan mungkin tidak menjadi prioritas di pemerintahan Presiden Prabowo.
Dia hanya mengungkapkan soal kekayaan alam yang dimiliki Indonesia, mulai dari luas wilayah daratan dan lautan yang sangat besar, kekayaan alam yang melimpah.
Salah satu dampak besar dari pemerintahan Prabowo yang mungkin tidak banyak dibahas adalah hilangnya oposisi yang kuat. Selama Jokowi berkuasa, meski tidak selalu efektif, oposisi masih ada dan berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan.
Tanpa Oposisi yang Kritis
Namun, ketika Prabowo kini berada di puncak kekuasaan, partai-partai besar sepertinya akan bergabung dalam koalisi. Dengan sedikit sekali oposisi di parlemen, kita mungkin menyaksikan pemerintahan yang bergerak tanpa hambatan, dan ini sering kali menjadi resep bencana dalam demokrasi.
Tanpa oposisi yang kritis, kebijakan yang keliru bisa terus berjalan tanpa koreksi, dan kepentingan rakyat bisa dengan mudah dikesampingkan demi keuntungan politik jangka pendek. Apakah ini adalah harapan baru bagi demokrasi kita, atau justru kejutan yang akan merusak fondasi demokrasi itu sendiri?
Jadi, apakah pemerintahan Prabowo adalah harapan baru bagi kita semua? Mungkin jawabannya terletak pada sudut pandang kita masing-masing. Bagi yang sudah lelah dengan gaya kepemimpinan Jokowi, Prabowo mungkin terlihat sebagai pahlawan yang datang dengan solusi tegas. Namun, bagi yang lebih skeptis, ini hanyalah langkah baru menuju ketidakpastian dan potensi masalah baru.
Setidaknya, di tengah segala pesimisme, kita bisa terus berharap bahwa kejutan-kejutan yang datang tidak terlalu buruk atau malah lebih buruk?. Semoga di tengah perjalanan kepemimpinannya muncul sesuatu yang lebih baik.
Di dunia politik yang dinamis, harapan sering kali seperti angin: terasa, tetapi tidak selalu bisa digenggam. Dan ketika harapan itu tidak terwujud, kita paling tidak kita bisa tertawa sambil berkata, “Nah kan?.”